Recent Posts

Minggu, 16 Desember 2012

Makalah Psikologi perkembangan



BAB I
PENDAHULUAN

I. 1. Latar Belakang
            Seks dan remaja merupakan hal yang sudah begitu dekat di masa sekarang. Gaya berpacaran yang berlebihan sudah menjadi kebiasaan hidup para remaja. Dengan beralaskan cinta, remaja sering menyalahkan arti tersebut untuk melakukan aktifitas seksual. Padahal menurut aspek kematangan, jiwa remaja masih belum mampu untuk bertanggung jawab dalam dunia orang dewasa.

            Perilaku ini sering terjadi di karenakan akibat pergaulan dari teman sebaya yang terlalu bebas, sehingga tidak ada penyaringan moral baik dari remaja sendiri maupun orang tua. Adanya dorongan dari teman sebaya membuat timbul rasa penasaran bagi remaja tersebut untuk melakukan tindakan – tindakan yang seharusnya tidak di lakukan oleh remaja.

I. 2. Perumusan Masalah



BAB II
ISI

II. 1. Pentingnya Pendidikan Seks Bagi Remaja
            Pendidika seks pada masa remaja perlu dilakukan, karrena ini merupakan hal yang penting. Agar para remaja tidak mendapatkan pengetahuan – pengetahuan dari beberapa referensi yang tidak bertanggung jawab. Kerena, apabila seorang remaja mendapatkan pendidikan seks dari sumber yang tidak bertanggung jawab, akan menimbulkan dampak yang begitu besar baik bagi jiwa remaja tersebut maupun di lingkungan. Misalnya : hamil di luar nikah, aborsi, hamil tidak di inginkan, dan masih banyak lagi dampak bagi remaja.
            Banyak remaja pada lebih banyak membicarakan masalah seksnya kepada teman sebaya daripada orang tua mereka sendiri. Hal ini di karenakan adanya rasa malu dan kurang terbukanya orang tua terhadap anak tersebut mengenai hal tersebut. Tentunya akan menyebabkan kurangnya pengawasan dari orang tua terhadap anaknya tentang perkembangan anak tersebut. Kesalahan – kesalahan lain juga bisa berakibat fatal. Misalnya, perlakuan protektor yang berlebihan terhadap anak akan menyebabkan kurangnya kepahaman anak terhadap pergaulan, sehingga apabila anak tersebut mendapat kebebasan, maka anak tersebut akan terus berusaha mencari pengetahuan dari lingkungan. Di tambah lagi dengan gaya pergaulan remaja yang berbeda dari masa dahulu dan sekarang. Misalnya, pada masa dahulu seorang lelaki yang mencium perempuan pada kencan pertama akan diaggap kurang wajar, dan apabila perempuan membiarkan diri dicium atau mendorong laki – laki untuk melakukannya, maka ia akan dianggap “wanita murahan” oleh laki – laki, suatu sebutan yang membuat laki – laki segan bercinta dengan wanita.[1] Dan pada masa sekarang berciuman pada kencan pertama dianggap sudah umum.[2]
            Rasa keingintahuan pada remaja menjadi faktor utama timbulya kesalahan – kesalahan yang di alami remaja dalam dunia seks, di tambah lagi rasangan  atau dorongan dari teman sebaya yang menceritakan pengalaman seksnya dengan pasangannya. Hal ini tentu memerlukan pengawasan khusus dari orang tua dan kerjasama para pendidik dalam memberi arahan yang benar tentang seks. Pendidikan dan keterbukaannya orang tua sangat di perlukan dalam memberikan arahan yang baik kepada para remaja.
            Dalam bukunya, Hurlock menjelasakan bahwa pada masa sekarang, waktu berkencan lebih cepat di mulai dibandingkan generasi – generasi sebelumnya dan cepat berkembang menjadi hubungan yang tetap. Misalnya, tidak aneh lagi bagi anak perempuan tiga belas tahun untuk berkencan dan sudah mempunyai pasangan tetap pada usia empat belas tahun. Berkencan mempunyai banyak tujuan dalam kehidupan remaja masa kini. Tentunya dapat dimengerti bila remaja menghendaki bermacam – macam orang sebagai pasangan untuk setiap jenis kencan yang berbeda. Banyak kawula muda lebih menyukai mempunyai pasangan tetap daripada berganti – ganti, karena hal ini memberi rasa aman, mengetahui selalu ada teman untuk mengikuti berbagai kegiatan sosial.
Mempunyai pasangan tetap tidak harus perlu melibatkan rencana untuk masa depan atau berjanji untuk menikah. Namun hal itu memperbolehkan dilakukannya bentuk – bentuk perilaku seksual yang lebih lanjut. Pola perilaku seksual yang biasa dalam berkencan dan berpacaran adalah mulai dari berciuman, bercumbu ringan, bercumbu berat, bahkan bersenggama.[3]
Oleh karena itu pemberian informasi masalah seksual menjadi penting terlebih lagi mengingat remaja berada dalam potensi seksual yang aktif, karena berkaitan dengan dorongan seksual yang dipengaruhi hormon dan sering tidak memiliki informasi yang cukup mengenai aktivitas seksual mereka sendiri. Sehingga orang tua dan para pendidik bersikap lebih tanggap dalam menjaga dan mendidik anak dan remaja untuk lebih ekstra hati – hati terhadap gejala sosial, terutama dengan masalah seksual.
Adapun faktor-faktor yang dianggap berperan dalam munculnya permasalahan seksual pada remaja, menurut Sarlito W. Sarwono adalah sebagai berikut :
1.      Perubahan-perubahan hormonal yang meningkatkan hasrat seksual remaja. Peningkatan hormon ini menyebabkan remaja membutuhkan penyaluran dalam bentuk tingkah laku tertentu.
2.      Penyaluran tersebut tidak dapat segera dilakukan karena adanya penundaan usia perkawinan, baik secara hukum oleh karena adanya undang-undang tentang perkawinan, maupun karena norma sosial yang semakin lama semakin menuntut persyaratan yang terus meningkat untuk perkawinan (pendidikan, pekerjaan, persiapan mental dan lain-lain).
3.      Norma-norma agama yang berlaku, dimana seseorang dilarang untuk melakukan hubungan seksual sebelum menikah. Untuk remaja yang tidak dapat menahan diri memiliki kecenderungan untuk melanggar hal-hal tersebut.
4.      Kecenderungan pelanggaran makin meningkat karena adanya penyebaran informasi dan rangsangan melalui media masa yang dengan teknologi yang canggih (cth: VCD, buku stensilan, Photo, majalah, internet, dan lain-lain) menjadi tidak terbendung lagi. Remaja yang sedang dalam periode ingin tahu dan ingin mencoba, akan meniru apa dilihat atau didengar dari media massa, karena pada umumnya mereka belum pernah mengetahui masalah seksual secara lengkap dari orangtuanya.
5.      Orangtua sendiri, baik karena ketidaktahuannya maupun karena sikapnya yang masih mentabukan pembicaraan mengenai seks dengan anak, menjadikan mereka tidak terbuka pada anak, bahkan cenderung membuat jarak dengan anak dalam masalah ini.
6.      Adanya kecenderungan yang makin bebas antara pria dan wanita dalam masyarakat, sebagai akibat berkembangnya peran dan pendidikan wanita, sehingga kedudukan wanita semakin sejajar dengan pria.
II. 2. Tujuan Pendidikan Seksual
Pendidikan seksual selain menerangkan tentang aspek-aspek anatomis dan biologis juga menerangkan tentang aspek-aspek psikologis dan moral. Pendidikan seksual yang benar harus memasukkan unsur-unsur hak asasi manusia. Juga nilai-nilai kultur dan agama diikutsertakan sehingga akan merupakan pendidikan akhlak dan moral juga.
Menurut Kartono Mohamad pendidikan seksual yang baik mempunyai tujuan membina keluarga dan menjadi orang tua yang bertanggungjawab. Beberapa ahli mengatakan pendidikan seksual yang baik harus dilengkapi dengan pendidikan etika, pendidikan tentang hubungan antar sesama manusia baik dalam hubungan keluarga maupun di dalam masyarakat. Juga dikatakan bahwa tujuan dari pendidikan seksual adalah bukan untuk menimbulkan rasa ingin tahu dan ingin mencoba hubungan seksual antara remaja, tetapi ingin menyiapkan agar remaja tahu tentang seksualitas dan akibat-akibatnya bila dilakukan tanpa mematuhi aturan hukum, agama dan adat istiadat serta kesiapan mental dan material seseorang. Selain itu pendidikan seksual juga bertujuan untuk memberikan pengetahuan dan mendidik anak agar berperilaku yang baik dalam hal seksual, sesuai dengan norma agama, sosial dan kesusilaan.
Penjabaran tujuan pendidikan seksual dengan lebih lengkap sebagai berikut :
1.      Memberikan pengertian yang memadai mengenai perubahan fisik, mental dan proses kematangan emosional yang berkaitan dengan masalah seksual pada remaja.
2.      Mengurangi ketakutan dan kecemasan sehubungan dengan perkembangan dan penyesuaian seksual (peran, tuntutan dan tanggungjawab).
3.      Membentuk sikap dan memberikan pengertian terhadap seks dalam semua manifestasi yang bervariasi.
4.      Memberikan pengertian bahwa hubungan antara manusia dapat membawa kepuasan pada kedua individu dan kehidupan keluarga.
5.      Memberikan pengertian mengenai kebutuhan nilai moral yang esensial untuk memberikan dasar yang rasional dalam membuat keputusan berhubungan dengan perilaku seksual.
6.      Memberikan pengetahuan tentang kesalahan dan penyimpangan seksual agar individu dapat menjaga diri dan melawan eksploitasi yang dapat mengganggu kesehatan fisik dan mentalnya.
7.      Untuk mengurangi prostitusi, ketakutan terhadap seksual yang tidak rasional dan eksplorasi seks yang berlebihan.
8.      Memberikan pengertian dan kondisi yang dapat membuat individu melakukan aktivitas seksual secara efektif dan kreatif dalam berbagai peran, misalnya sebagai istri atau suami, orang tua, anggota masyarakat.
Jadi tujuan pendidikan seksual adalah untuk membentuk suatu sikap emosional yang sehat terhadap masalah seksual dan membimbing anak dan remaja ke arah hidup dewasa yang sehat dan bertanggung jawab terhadap kehidupan seksualnya. Hal ini dimaksudkan agar mereka tidak menganggap seks itu suatu yang menjijikan dan kotor. Tetapi lebih sebagai bawaan manusia, yang merupakan anugrah Tuhan dan berfungsi penting untuk kelanggengan kehidupan manusia, dan supaya anak-anak itu bisa belajar menghargai kemampuan seksualnya dan hanya menyalurkan dorongan tersebut untuk tujuan tertentu (yang baik) dan pada waktu yang tertentu saja.
            Beberapa hal penting dalam memberikan pendidikan seksual, seperti yang diuraikan oleh Singgih D. Gunarsa berikut ini, mungkin patut anda perhatikan:
1.      Cara menyampaikannya harus wajar dan sederhana, jangan terlihat ragu-ragu atau malu.
2.      Isi uraian yang disampaikan harus obyektif, namun jangan menerangkan yang tidak-tidak, seolah-olah bertujuan agar anak tidak akan bertanya lagi, boleh mempergunakan contoh atau simbol seperti misalnya : proses pembuahan pada tumbuh-tumbuhan, sejauh diperhatikan bahwa uraiannya tetap rasional.
3.      Dangkal atau mendalamnya isi uraiannya harus disesuaikan dengan kebutuhan dan dengan tahap perkembangan anak. Terhadap anak umur 9 atau 10 tahun t belum perlu menerangkan secara lengkap mengenai perilaku atau tindakan dalam hubungan kelamin, karena perkembangan dari seluruh aspek kepribadiannya memang belum mencapai tahap kematangan untuk dapat menyerap uraian yang mendalam mengenai masalah tersebut.
4.      Pendidikan seksual harus diberikan secara pribadi, karena luas sempitnya pengetahuan dengan cepat lambatnya tahap-tahap perkembangan tidak sama buat setiap anak. Dengan pendekatan pribadi maka cara dan isi uraian dapat disesuaikan dengan keadaan khusus anak.
5.      Pada akhirnya perlu diperhatikan bahwa usahakan melaksanakan pendidikan seksual perlu diulang-ulang (repetitif) selain itu juga perlu untuk mengetahui seberapa jauh sesuatu pengertian baru dapat diserap oleh anak, juga perlu untuk mengingatkan dan memperkuat (reinforcement) apa yang telah diketahui agar benar-benar menjadi bagian dari pengetahuannya.






[1]. Elizabeth B. Hurlock, Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan, Erlangga : Jakarta, Hal. 227

[2]. Ibid, Hal. 228
[3]. Ibid. Hal. 229

0 komentar:

Posting Komentar