BAB I
PENDAHULUAN
I. 1. Latar Belakang
Seks dan remaja
merupakan hal yang sudah begitu dekat di masa sekarang. Gaya berpacaran yang
berlebihan sudah menjadi kebiasaan hidup para remaja. Dengan beralaskan cinta,
remaja sering menyalahkan arti tersebut untuk melakukan aktifitas seksual.
Padahal menurut aspek kematangan, jiwa remaja masih belum mampu untuk
bertanggung jawab dalam dunia orang dewasa.
Perilaku ini
sering terjadi di karenakan akibat pergaulan dari teman sebaya yang terlalu
bebas, sehingga tidak ada penyaringan moral baik dari remaja sendiri maupun
orang tua. Adanya dorongan dari teman sebaya membuat timbul rasa penasaran bagi
remaja tersebut untuk melakukan tindakan – tindakan yang seharusnya tidak di
lakukan oleh remaja.
I. 2. Perumusan Masalah
BAB II
ISI
II. 1. Pentingnya Pendidikan Seks Bagi Remaja
Pendidika seks
pada masa remaja perlu dilakukan, karrena ini merupakan hal yang penting. Agar
para remaja tidak mendapatkan pengetahuan – pengetahuan dari beberapa referensi
yang tidak bertanggung jawab. Kerena, apabila seorang remaja mendapatkan
pendidikan seks dari sumber yang tidak bertanggung jawab, akan menimbulkan
dampak yang begitu besar baik bagi jiwa remaja tersebut maupun di lingkungan.
Misalnya : hamil di luar nikah, aborsi, hamil tidak di inginkan, dan masih
banyak lagi dampak bagi remaja.
Banyak remaja pada
lebih banyak membicarakan masalah seksnya kepada teman sebaya daripada orang
tua mereka sendiri. Hal ini di karenakan adanya rasa malu dan kurang terbukanya
orang tua terhadap anak tersebut mengenai hal tersebut. Tentunya akan
menyebabkan kurangnya pengawasan dari orang tua terhadap anaknya tentang
perkembangan anak tersebut. Kesalahan – kesalahan lain juga bisa berakibat
fatal. Misalnya, perlakuan protektor yang berlebihan terhadap anak akan
menyebabkan kurangnya kepahaman anak terhadap pergaulan, sehingga apabila anak
tersebut mendapat kebebasan, maka anak tersebut akan terus berusaha mencari
pengetahuan dari lingkungan. Di tambah lagi dengan gaya pergaulan remaja yang
berbeda dari masa dahulu dan sekarang. Misalnya, pada masa dahulu seorang
lelaki yang mencium perempuan pada kencan pertama akan diaggap kurang wajar,
dan apabila perempuan membiarkan diri dicium atau mendorong laki – laki untuk
melakukannya, maka ia akan dianggap “wanita murahan” oleh laki – laki, suatu
sebutan yang membuat laki – laki segan bercinta dengan wanita.[1] Dan pada masa sekarang berciuman pada kencan pertama dianggap
sudah umum.[2]
Rasa keingintahuan
pada remaja menjadi faktor utama timbulya kesalahan – kesalahan yang di alami
remaja dalam dunia seks, di tambah lagi rasangan atau dorongan dari teman sebaya yang
menceritakan pengalaman seksnya dengan pasangannya. Hal ini tentu memerlukan
pengawasan khusus dari orang tua dan kerjasama para pendidik dalam memberi
arahan yang benar tentang seks. Pendidikan dan keterbukaannya orang tua sangat
di perlukan dalam memberikan arahan yang baik kepada para remaja.
Dalam bukunya,
Hurlock menjelasakan bahwa pada masa sekarang, waktu berkencan lebih cepat di
mulai dibandingkan generasi – generasi sebelumnya dan cepat berkembang menjadi
hubungan yang tetap. Misalnya, tidak aneh lagi bagi anak perempuan tiga belas
tahun untuk berkencan dan sudah mempunyai pasangan tetap pada usia empat belas
tahun. Berkencan mempunyai banyak tujuan dalam kehidupan remaja masa kini.
Tentunya dapat dimengerti bila remaja menghendaki bermacam – macam orang
sebagai pasangan untuk setiap jenis kencan yang berbeda. Banyak kawula muda
lebih menyukai mempunyai pasangan tetap daripada berganti – ganti, karena hal
ini memberi rasa aman, mengetahui selalu ada teman untuk mengikuti berbagai
kegiatan sosial.
Mempunyai
pasangan tetap tidak harus perlu melibatkan rencana untuk masa depan atau
berjanji untuk menikah. Namun hal itu memperbolehkan dilakukannya bentuk –
bentuk perilaku seksual yang lebih lanjut. Pola perilaku seksual yang biasa
dalam berkencan dan berpacaran adalah mulai dari berciuman, bercumbu ringan,
bercumbu berat, bahkan bersenggama.[3]
Oleh karena itu
pemberian informasi masalah seksual menjadi penting
terlebih lagi mengingat remaja berada dalam potensi seksual yang aktif, karena
berkaitan dengan dorongan seksual yang dipengaruhi hormon dan sering tidak
memiliki informasi yang cukup mengenai aktivitas seksual mereka sendiri.
Sehingga orang tua dan para pendidik bersikap lebih tanggap dalam menjaga dan
mendidik anak dan remaja untuk lebih ekstra hati – hati terhadap gejala sosial,
terutama dengan masalah seksual.
Adapun faktor-faktor yang dianggap berperan dalam
munculnya permasalahan seksual pada remaja, menurut Sarlito W. Sarwono adalah
sebagai berikut :
1. Perubahan-perubahan hormonal yang meningkatkan hasrat
seksual remaja. Peningkatan hormon ini menyebabkan remaja membutuhkan
penyaluran dalam bentuk tingkah laku tertentu.
2. Penyaluran tersebut tidak dapat segera dilakukan
karena adanya penundaan usia perkawinan, baik secara hukum oleh karena adanya
undang-undang tentang perkawinan, maupun karena norma sosial yang semakin lama
semakin menuntut persyaratan yang terus meningkat untuk perkawinan (pendidikan,
pekerjaan, persiapan mental dan lain-lain).
3. Norma-norma agama yang berlaku, dimana seseorang
dilarang untuk melakukan hubungan seksual sebelum menikah. Untuk remaja yang
tidak dapat menahan diri memiliki kecenderungan untuk melanggar hal-hal
tersebut.
4. Kecenderungan pelanggaran makin meningkat karena
adanya penyebaran informasi dan rangsangan melalui media masa yang dengan
teknologi yang canggih (cth: VCD, buku stensilan, Photo, majalah, internet, dan
lain-lain) menjadi tidak terbendung lagi. Remaja yang sedang dalam periode
ingin tahu dan ingin mencoba, akan meniru apa dilihat atau didengar dari media
massa, karena pada umumnya mereka belum pernah mengetahui masalah seksual
secara lengkap dari orangtuanya.
5. Orangtua sendiri, baik karena ketidaktahuannya maupun
karena sikapnya yang masih mentabukan pembicaraan mengenai seks dengan anak,
menjadikan mereka tidak terbuka pada anak, bahkan cenderung membuat jarak
dengan anak dalam masalah ini.
6. Adanya kecenderungan yang makin bebas antara pria dan
wanita dalam masyarakat, sebagai akibat berkembangnya peran dan pendidikan
wanita, sehingga kedudukan wanita semakin sejajar dengan pria.
II. 2. Tujuan Pendidikan Seksual
Pendidikan
seksual selain menerangkan tentang aspek-aspek anatomis dan biologis juga
menerangkan tentang aspek-aspek psikologis dan moral. Pendidikan seksual yang
benar harus memasukkan unsur-unsur hak asasi manusia. Juga nilai-nilai kultur
dan agama diikutsertakan sehingga akan merupakan pendidikan akhlak dan moral
juga.
Menurut Kartono Mohamad pendidikan seksual yang baik
mempunyai tujuan membina keluarga dan menjadi orang tua yang bertanggungjawab.
Beberapa ahli mengatakan pendidikan seksual yang baik harus dilengkapi dengan
pendidikan etika, pendidikan tentang hubungan antar sesama manusia baik dalam
hubungan keluarga maupun di dalam masyarakat. Juga dikatakan bahwa tujuan dari
pendidikan seksual adalah bukan untuk menimbulkan rasa ingin tahu dan ingin
mencoba hubungan seksual antara remaja, tetapi ingin menyiapkan agar remaja
tahu tentang seksualitas dan akibat-akibatnya bila dilakukan tanpa mematuhi
aturan hukum, agama dan adat istiadat serta kesiapan mental dan material
seseorang. Selain itu pendidikan seksual juga bertujuan untuk memberikan
pengetahuan dan mendidik anak agar berperilaku yang baik dalam hal seksual,
sesuai dengan norma agama, sosial dan kesusilaan.
Penjabaran tujuan pendidikan seksual dengan lebih
lengkap sebagai berikut :
1. Memberikan pengertian yang memadai mengenai perubahan
fisik, mental dan proses kematangan emosional yang berkaitan dengan masalah
seksual pada remaja.
2. Mengurangi ketakutan dan kecemasan sehubungan dengan
perkembangan dan penyesuaian seksual (peran, tuntutan dan tanggungjawab).
3. Membentuk sikap dan memberikan pengertian terhadap
seks dalam semua manifestasi yang bervariasi.
4. Memberikan pengertian bahwa hubungan antara manusia
dapat membawa kepuasan pada kedua individu dan kehidupan keluarga.
5. Memberikan pengertian mengenai kebutuhan nilai moral
yang esensial untuk memberikan dasar yang rasional dalam membuat keputusan
berhubungan dengan perilaku seksual.
6. Memberikan pengetahuan tentang kesalahan dan
penyimpangan seksual agar individu dapat menjaga diri dan melawan eksploitasi
yang dapat mengganggu kesehatan fisik dan mentalnya.
7. Untuk mengurangi prostitusi, ketakutan terhadap
seksual yang tidak rasional dan eksplorasi seks yang berlebihan.
8. Memberikan pengertian dan kondisi yang dapat membuat
individu melakukan aktivitas seksual secara efektif dan kreatif dalam berbagai
peran, misalnya sebagai istri atau suami, orang tua, anggota masyarakat.
Jadi tujuan pendidikan seksual adalah untuk membentuk
suatu sikap emosional yang sehat terhadap masalah seksual dan membimbing anak
dan remaja ke arah hidup dewasa yang sehat dan bertanggung jawab terhadap
kehidupan seksualnya. Hal ini dimaksudkan agar mereka tidak menganggap seks itu
suatu yang menjijikan dan kotor. Tetapi lebih sebagai bawaan manusia, yang
merupakan anugrah Tuhan dan berfungsi penting untuk kelanggengan kehidupan
manusia, dan supaya anak-anak itu bisa belajar menghargai kemampuan seksualnya
dan hanya menyalurkan dorongan tersebut untuk tujuan tertentu (yang baik) dan
pada waktu yang tertentu saja.
Beberapa hal penting dalam memberikan pendidikan
seksual, seperti yang diuraikan oleh Singgih D. Gunarsa berikut ini, mungkin
patut anda perhatikan:
1. Cara menyampaikannya harus wajar dan sederhana, jangan
terlihat ragu-ragu atau malu.
2. Isi uraian yang disampaikan harus obyektif, namun
jangan menerangkan yang tidak-tidak, seolah-olah bertujuan agar anak tidak akan
bertanya lagi, boleh mempergunakan contoh atau simbol seperti misalnya : proses
pembuahan pada tumbuh-tumbuhan, sejauh diperhatikan bahwa uraiannya tetap
rasional.
3. Dangkal atau mendalamnya isi uraiannya harus
disesuaikan dengan kebutuhan dan dengan tahap perkembangan anak. Terhadap anak
umur 9 atau 10 tahun t belum perlu menerangkan secara lengkap mengenai perilaku
atau tindakan dalam hubungan kelamin, karena perkembangan dari seluruh aspek
kepribadiannya memang belum mencapai tahap kematangan untuk dapat menyerap
uraian yang mendalam mengenai masalah tersebut.
4. Pendidikan seksual harus diberikan secara pribadi,
karena luas sempitnya pengetahuan dengan cepat lambatnya tahap-tahap
perkembangan tidak sama buat setiap anak. Dengan pendekatan pribadi maka cara
dan isi uraian dapat disesuaikan dengan keadaan khusus anak.
5. Pada akhirnya perlu diperhatikan bahwa usahakan
melaksanakan pendidikan seksual perlu diulang-ulang (repetitif) selain itu juga
perlu untuk mengetahui seberapa jauh sesuatu pengertian baru dapat diserap oleh
anak, juga perlu untuk mengingatkan dan memperkuat (reinforcement) apa yang
telah diketahui agar benar-benar menjadi bagian dari pengetahuannya.
0 komentar:
Posting Komentar